Jangan berlari terlalu kencang! Kakiku kan pendek.
Aku tidak mengerti apa maksudmu dengan mengajakku pergi sepagi ini. Langit masih sangat gelap, azan subuh pun belum berkumandang. Tidak masalah, karena pikirku kamu akan membawa mobil kesayanganmu dan aku dapat melanjutkan tidur selama perjalanan. Hari ini kamu aneh! tidak dengan mobil dan sepatu favoritmu, kamu datang dan menarikku berlari dengan kaki telanjang.
Aku menggerutu sepanjang jalan dan kamu tidak membantah apapun.
“Ada apa ini? kita mau kemana? aku cape!”
Bukannya berhenti sejenak dan menenangkanku, jemariku makin terasa sesak karena genggaman dan tarikan tanganmu. Kamu terus mengajakku berlari, tak peduli dengan sendal jepitku yang putus dan napasku yang terengah.
Tiba di suatu bangunan tinggi dan gelap, kamu mencoba menarik tanganku untuk mengajak masuk.
“Tidak! tempat ini menyeramkan. Aku takut terjadi apa-apa di dalam.”
Kali ini aku lebih beruntung, kamu menoleh-mengedipkan mata seolah meyakinkanku tidak ada hal buruk di dalam sana. Aku mengangguk.
Gedungnya sangat sesak, kamu langsung mengajakku naik. Setengah terengah, aku menaikki anak tangga – perlahan – menghitungnya, sambil tetap menggenggam tanganmu erat.
Ke-24. Aku mencoba memastikan lagi hitunganku, saat aku berpaling tanganku merenggang, jari-jemarinya tak lagi sesak kurasa. Iya, tangganya terputus di anak tangga ke-24. Kuangkat kepalaku pelan, kita tidak lagi bergenggaman, kamu sudah ada di tepian dan mencoba lompat meraih anak tangga yang kuperikirakan sebagai anak tangga ke-30. Gagal, kamu terjatuh jauh dan aku menelungkup mencarimu. Bukan tanganmu yang kudapatkan, tapi kecupan kecil ibu di keningku yang membangunkan.
Seraya memeluk, ibu berucap, “selamat pagi dan selamat ulang tahun, Nak. Semoga di umur ke-24 ini kamu dapat menanjaki hal-hal yang lebih baik”. Aku membalas pelukan ibu dan menatap bingkai fotomu yang berada tepat di dinding depan kasurku.
Hatiku bergumam, “terima kasih, Rico”.