103

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216)

2010

Sebelum lulus sekolah, sebenarnya aku sudah dinyatakan lulus di dua perguruan tinggi negeri, Medan dan Jogjakarta, melalui jalur PMDK dan keduanya berhasil mendapatkan beasiswa. Aku bahagia, namun orang tuaku tidak. “Kamu pendiam, nanti sudah beradaptasi, bisa-bisa mati gak ada yang tau”, kata Ayah. Mamah pun mengiyakan, “iya, Medan dan Jogja itu jauh, nanti kamu gak betah, tidur di rumah saudara aja gak mau, apalagi tidur sendiri nanti”. Begitulah kira-kira pernyataan penolakan dari orang tua. Hingga akhirnya aku harus menunggu satu tahun lagi untuk dapat lulus ke perguruan tinggi negeri yang mereka inginkan.

2015

time flies so fast

Setelah empat tahun berkutat di perguruan tinggi negeri ini, akhirnya aku dinyatakan selesai melalui ujian komprehensif di November lalu. Harusnya aku dapat wisuda di 2 Desember, tapi ada beberapa kendala yang akhirnya mengundurnya hingga ke 18 Februari tahun berikutnya, tanpa kehadiran Ayah. Iya. Ayah sudah lebih dulu pergi di 18 Desember, sebelum sempat mendampingi perayaan yang sudah kami nantikan sejak lama.

Jangan tanyakan rasanya! Air mata tak cukup mewakili sakitnya. Hingga saat semua teman berbahagia, sedangkan aku hanya ingin hari itu segera berakhir saja.

2016

Saat ini, aku benar-benar baru paham, apa hikmah dari penolakan orang tua, terutama Ayah pada saat itu untuk aku bepergian jauh.

Aku bayangkan,

Jika saja saat itu aku pergi, entah ke Medan atau Jogja, tentunya aku akan menghabiskan waktu ku selama beberapa tahun lebih lama di luar rumah. Aku akan sangat jarang bertemu Ayah, Mamah dan adik-adik ku yang ada tiga.

Aku paham Ayah teramat sangat mencintaiku. Ku bayangkan lagi,

Jika saat itu aku memilih kuliah jauh, tentu saja ayah tidak akan dapat kurepotkan tiap pagi. Dimana aku sering sekali meminta Ayah buru-buru mengantarku karena takut ketinggalan bus. Jika saat itu aku memilih kuliah jauh, tentu saja nama ayah tidak sering kusebut untuk mengantarkan beberapa perlengkapan kuliah yang sering tertinggal. Jika saat itu aku memilih kuliah jauh, tentu saja aku tidak dapat meminta restu ayah secara langsung dengan mencium tangan dan pipinya, tiap hari.

Ayah, datanglah lagi, temui aku pada saatnya kita harus bertemu.

I love you,

Mbak Ria

 

Tinggalkan komentar